(021) 89454773 | (021) 29391190 jonbernard@jonb-lawfirm.com

Pendahuluan
Sifat dari putusan arbitrase adalah final and binding. Boleh dikatakan, tidak ada upaya hukum yang dapat dipakai terhadap putusan arbitrase. Tidak dikenal upaya hukum banding, kasasi, maupun peninjauan kembali dalam proses arbitrase. Campur tangan pengadilan diminimalisir. Pengadilan baru berperan apabila ada pendaftaran dan permohonan eksekusi terhadap putusan arbitrase oleh satu pihak.2

Baik untuk putusan arbitrase nasional (domestik) maupun putusan arbitrase internasional, disyaratkan pendaftaran sebelum putusan arbitrase dilaksanakan. Tentunya, pendaftaran untuk pelaksanaan putusan arbitrase baru diperlukan apabila pihak yang “dihukum” enggan memenuhi kewajibannya secara sukarela.

Untuk putusan arbitrase nasional, permohonan pendaftaran dilakukan di Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal termohon. Selanjutnya, Ketua Pengadilan Negeri (KPN) akan memberikan perintah eksekusi sepanjang putusan arbitrase memenuhi ketentuan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang No.30/1999 tentang Arbitrase (UU Arbitrase) dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Tidak ada upaya hukum terhadap penolakan pelaksanaan putusan arbitrase oleh Ketua Pengadilan Negeri.

Pendaftaran dan pelaksanaan putusan
Untuk putusan arbitrase internasional, pendaftaran maupun permohonan eksekusinya hanya dapat dilakukan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Putusan arbitrase internasional yang dapat dilaksanakan di Indonesia hanyalah untuk putusan arbitrase dari suatu negara atau arbiter yang terikat pada suatu perjanjian mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional dengan Indonesia.

Ketua PN Jakarta Pusat berwenang untuk menolak permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional apabila peelaksanaannya dinilai bertentangan dengan ketertiban umum. Definisi maupun interpretasi dari ketertiban umum menjadi sangat subyektif karena UU Arbitrase tidak memberikan penjelasan. Hal ini menjadi celah hukum dan membuka peluang terjadinya manipulasi, mengingat Ketua PN Jakpus memiliki diskresi untuk menafsirkan “ketertiban umum”.

Apabila Ketua PN Jakpus mengabukan permohonan eksekusi, untuk pelaksanaan selanjutnya dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang melaksanakannya. Sebaliknya, apabila ada penolakan permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional, salah satu pihak dapat mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.

Mengenai pelaksanaan putusan arbitrase, baik nasional maupun internasional, pengadilan hanya memberikan ijin dan mengurusi tata cara pendaftaran dan pelaksanaannya. Pada prinsipnya, pengadilan sama sekali tidak berwenang untuk memeriksa pokok perkara yang telah diputuskan oleh majelis arbitrase.

Pembatalan putusan arbitrase internasional
Pembatalan putusan arbitrase diatur pada Pasal 70-72 UU Arbitrase. Namun tidak disebutkan secara tegas, apakah pembatalan putusan tersebut berlaku untuk putusan arbitrase nasional dan internasional. Karenanya, ada yang berpendapat bahwa pembatalan putusan pada Pasal 70-72 UU Arbitrase, juga mencakup pembatalan putusan arbitrase internasional.

Yang lain berpendapat bahwa masalah pembatalan hanya berlaku untuk putusan arbitrase nasional, tidak termasuk putusan arbitrase internasional. Argumentasinya, UU Arbitrase hanya sedikit mengatur mengenai arbitrase internasional.

Praktis, bagian dari UU Arbitrase yang berhubungan dengan putusan arbitrase internasional hanyalah mengenai pelaksanaan dan penolakan pelaksanaan putusan. Selain itu, satu-satunya yurisdiksi pengadilan yang valid untuk
membatalkan suatu putusan arbitrase internasional adalah pengadilan di negara tempat putusan arbitrase dibuat.

Ada 3 alasan yang dapat dipakai, berdasarkan Pasal 70 UU Arbitrase, oleh salah satu pihak untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase. Yaitu, apabila ada dugaan penggunaan dokumen palsu dalam proses pemeriksaan di arbitrase, ada dokumen yang sifatnya menentukan yang disembunyikan, atau adanya tipu muslihat salah satu pihak.

Selanjutnya, penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase menyebutkan bahwa untuk mengajukan permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase, ketiga alasan diatas harus dibuktikan terlebih dahulu melalui putusan pengadilan. Apapun putusan pengadilan, akan dijadikan dasar bagi hakim nantinya untuk mengabulkan atau menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase.

Sebelum berlaku Undang-Undang No.30/1999 (UU Arbitrase), Pasal 634 Rv menyebutkan ada 10 alasan yang dapat dipakai untuk meminta pembatalan putusan arbitrase. Di antaranya, apabila yang diputus oleh arbitrase melebihi apa yang diminta (ultra petitum), kesalahan dalam proses penunjukkan arbiter, isi putusan bertentangan satu sama lain.

Di UU Arbitrase, hanya ada 3 alasan yang dapat dipakai untuk mengajukan pembatalan terhadap putusan arbitrase. Pasal 70 UU Arbitrase menyebutkan bahwa alasan pembatalan putusan dapat diajukan apabila dokumen yang dipakai dalam proses arbitrase ternyata palsu, ada dokumen yang disembunyikan, serta adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak saat pemeriksaan di arbitrase. Seharusnya, pembatalan putusan arbitrase hanya dapat diajukan berdasarkan salah satu dari tiga alasan yang ditentukan pada Pasal 70 UU Arbitrase.

Dengan demikian, pada prinsipnya suatu putusan arbitrase memang dimungkinkan untuk dibatalkan oleh suatu pengadilan. Namun, terlihat ada perbedaan yang prinsipil mengenai pembatalan putusan arbitrase antara Pasal 643 Rv dan UU Arbitrase. Di Rv, terbuka kemungkinan pengadilan mengeksaminasi ulang pokok perkara yang telah diputus oleh majelis arbitrase.

Sebaliknya, UU Arbitrase tidak memungkinkan pengadilan untuk mengintervensi pokok perkara. Putusan arbitrase hanya mungkin dibatalkan apabila ada indikasi-indikasi “penipuan”. Indikasi itu pun harus diproses terlebih dahulu oleh Pengadilan sebelum diajukan permohonan pembatalan.

Konvensi New York
Kemudian, sebagai salah satu negara yang telah meratifikasi Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards atau yang lebih dikenal dengan Konvensi New York Tahun 1958, Indonesia terikat untuk melaksanakan putusan arbitrase internasional.

Yang dimaksud putusan arbitrase internasional adalah putusan arbitrase, berdasarkan Perma No.1/1990 adalah putusan arbitrase yang diambil di luar wilayah hukum Indonesia. Berdasarkan Konvensi New York (dan UU Arbitrase),
pelaksanaan putusan arbitrase internasional juga harus memenuhi beberapa persyaratan formal.

Satu hal yang perlu digarisbawahi, Konvensi New York memang mengatur mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional, termasuk penolakan putusan tersebut. Namun, Konvensi New York sama sekali tidak mengatur mengenai pembatalan suatu putusan arbitrase internasional.

Article V dan VI Konvensi tersebut memang mengatur mengenai penolakan pelaksanaan putusan oleh pengadilan (competent authority) berdasarkan beberapa alasan yang sifatnya prosedural, misalnya ada kekeliruan prosedur dalam penunjukkan arbitrase. Dimungkinkan pula suatu putusan arbitrase akan ditolak apabila eksekusinya di suatu negara akan bertentangan dengan kepentingan umum di negara tersebut. Sekali lagi, definisi “kepentingan umum” memang sangat absurd.

Di beberapa negara, di Amerika dan Swedia misalnya, pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional juga menjadi bagian tersendiri dalam UU Arbitrase dan sama sekali tidak menyinggung mengenai pembatalan arbitrase internasional. Hanya memang, alasan untuk menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional memang bervariasi antara UU Arbitrase suatu negara dengan negara lainnya.

Pertamina vs Karaha Bodas
Pada 27 Agustus 2002 lalu, PN Jakpus membatalkan putusan arbitrase Jenewa untuk sengketa antara Pertamina dan PLN melawan Karaha Bodas Company LLC (KBC). Antara KBC, Pertamina, dan PLN terikat dalam suatu perjanjian untuk mengeksplorasi, membangun dan mensuplai energi panas bumi atau yang lebih dikenal dengan proyek Karaha Bodas.

Proyek Karaha Bodas terhenti di tengah jalan melalui Keppres No.39/1997 lantaran Indonesia didera krisis ekonomi. Menurut versi KBC, pembatalan kontrak tersebut mengakibatkan mereka mengalami kerugian mengingat mereka telah menanamkan investasinya di proyek tersebut setidaknya sekitar AS$100 juta.

Sebaliknya, Pertamina berlindung di balik Keppres dan rekomendasi IMF mengenai pembatalan proyek tersebut dan berdalih adanya force majeure serta praktek penggelembungan biaya (mark up) di balik proyek tersebut. Akibat pembatalan proyek, otomatis membuat perjanjian antara KBC dengan Pertamina dan PLN menjadi tidak dapat dilaksanakan dan menjadi awal dari sengketa.

Dalam perjanjian yang disepakati antara KBC, Pertamina dan PLN, salah satu klausulnya menyebutkan bahwa setiap sengketa yang timbul akan diselesaikan dengan memakai prosedur arbitrase UNCITRAL dan tempat proses arbitrasenya adalah Jenewa. Sengketa antara kedua bleah pihak, prosesnya telah dimulai sejak September 1999.

Kemudian, Majelis Arbitrase Jenewa pada putusannya pada 18 Desember 2000 menghukum Pertamina dan PLN membayar ganti rugi sebesar AS$216 juta dengan rincian AS$111 juta untuk ganti rugi biaya yang telah dikeluarkan dan AS$150 juta untuk ganti rugi perkiraan keuntungan yang hilang. Pertamina dan PLN dinilai telah melanggar kewajiban yang harusnya mereka penuhi sebagai tertuang dalam perjanjian.

Terhadap putusan arbitrase Jenewa 18 Desember 2000, Pertamina mengajukan gugatan pembatalan putusan arbitrase ke PN Jakpus dengan alasan Majelis Arbitrase Jenewa telah melebihi kewenangannnya dan putusan itu sendiri dinilai cacat hukum.
Dalam putusannya, Majelis PN Jakpus mengabulkan gugatan pembatalan putusan arbitrase Jenewa yang diajukan oleh Pertamina. Menurut PN Jakpus, Majelis Arbitrase Jenewa telah melampaui kewenangannya karena tidak mempergunakan hukum Indonesia. Padahal dalam perjanjian antara Pertamina dan PLN dengan KBC dengan tegas menyatakan bahwa mereka memilih hukum arbitrase Indonesia dan bukan hukum arbitrase Swiss

Majelis PN Jakpus juga menilai Majelis Arbitrase Jenewa telah melakukan kekeliruan dalam menafsirkan force majeur. Pembatalan proyek Karaha Bodas melalui Keppres bertujuan untuk mengamankan kesinambungan perkenomian dan jalannya pembangunan nasional

Terlepas dari isu mark up KKN yang meliputi proyek Karaha Bodas, isu pembatalan putusan arbitrase internasional oleh Pengadilan Indonesia adalah isu yang sangat menarik dikaji aspek hukumnya. Persoalan pokoknya adalah apakah pengadilan Indonesia berwenang untuk membatalkan putusan arbitrase internasional, dalam hal ini putusan arbitrase Jenewa.

Untuk membatalkan putusan arbitrase Jenewa, Majelis PN Jakpus selain memakai ketentuan Pasal 70-72 UU Arbitrase juga menggunakan Konvensi New York Tahun 1958. Dalam putusannya Majelis PN Jakpus, ternyata tidak memakai salah satu dari ketiga alasan pembatalan yang telah diatur pada Pasal 70 UU Arbitrase. Majelis berargumentasi bahwa berdasarkan penjelasan umum UU Arbitrase terbuka kemungkinan dipakai alasan lain untuk membatalkan putusan arbitrase (lihat penjelasan UU Arbitrase).

Lex Arbitri
Yang jadi pertanyaan, untuk perkara Pertamina melawan Karaha Bodas, apakah pengadilan Indonesia berwenang untuk membatalkan putusan arbitrase Jenewa? Untuk menjawabnya, harus dilihat pertama kali mengenai lex arbitri (hukum dari negara tempat arbitrase diselenggarakan). Lex Arbitri nantinya akan menentukan apakah terhadap putusan arbitrase dapat diajukan keberatan atau pembatalan atau eksaminasi ulang terhadap pokok sengketa.

Meski perjanjian yang menjadi pokok sengketa dibuat berdasarkan hukum Indonesia, karena kedua belah pihak sepakat memilih Jenewa sebagai tempat arbitrase, otomatis yang menjadi lex arbitri adalah hukum Swiss. Konsekuensinya, apabila salah satu pihak merasa keberatan atau hendak mengajukan permohonan pembatalan terhadap putusan arbitrase Jenewa, harus memperhatikan hukum Swiss.

Kalau hukum Swiss menentukan bahwa memang ada upaya hukum terhadap pembatalan putusan arbitrase dan upaya tersebut harus diajukan ke pengadilan di Swiss sebagai competent authority misalnya, keberatan atau perlawanan yang diajukan oleh salah satu pihak harus diajukan ke Pengadilan Swiss.

Lazimnya, upaya hukum terhadap putusan arbitrase internasional adalah penolakan pelaksanaan atau menyampingkan (set aside) terhadap putusan tersebut. Pembatalan putusan arbitrase Jenewa oleh PN Jakpus memang suatu langkah yang “luar biasa”. Satu hal yang perlu diperhatikan, putusan arbitrase Jenewa tersebut belum pernah didaftarkan untuk dilaksanakan oleh pihak KBC di PN Jakpus.

Masalahnya, pengadilan negara mana yang kira-kira sudi dan bersedia dengan sukarela melaksanakan putusan PN Jakpus? Apalagi ketika proses persidangan di PN Jakpus, Pengadilan di Houston menilai bahwa gugatan Pertamina tergolong sebagai “contempt of court” dan memerintahkan agar gugatan tersebut dicabut.

1 Jon Bernard Pasaribu, S.H., M.H. adalah Founder of Law Firm Jon Bernard & Associates.
2 Abdulrasyid, P. Beberapa Pandangan Umum Terhadap Arbitrase, Makalah dalam “Seminar Sehari Arbitrase, diselenggarakan oleh Yayasan Triguna ALTRIKADIN-BANI, di Jakarta.

Translate »
Free WordPress Themes, Free Android Games